ISTISHAN—Berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar) atau dari ketentuan hukum kuliy (umum) kepada ketentuan hukum juz’i (khusus), karena ada dalil (alasan) yang lebih kuat menurut pandangan mujtahid.

isthsan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

Menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali. Contohnya wanita yang sedang haid boleh membaca al-Qur’an berdasarkan istihsan akan tetapi haram menurut qiyas.

Jika menurut Qiyas: wanita haid itu diqiyaskan kepada junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca al-Qur’an, maka orang haid juga haram membaca al-Qur’an.

Sedangkan Istihsan : haid berbeda dengan dengan junub, karena haid waktunya lama sedang junub waktunya sebentar, maka wanita haid tidak dapat melakukan ibadah dan tidak mendapat pahala, sedangkan laki-laki dapat beribadah setiap saat.

ISTISHAB –Istishab secara bahasa berasal dari kata is-tash-ha-ba (استسحب) yang bermakna: menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai: ثُبُوْتُ أَمْرٍ فِي الثَّانِي لِثُبُوْتِهِ فِي الأَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَا يَصْلُحُ لِلتَّغْيِيْرِ Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.

Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal.

Penjelasan Lengkapnya di https://nu.or.id/syariah/metode-istishab-dan-aplikasinya-dalam-hukum-islam-pp09z

SADDUZ DZARI’AH— Secara istilah adalah menutup jalan atau mencegah hal-hal yang bisa membawa atau menimbulkan terjadinya kerusakan. Dengan kata lain segala sesuatu baik yang berbentuk fasilitas, sarana keadaan dan prilaku yang mungkin membawa kepada kemudharatan hendaklah diubah atau dilarang.

a) Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum-minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa pada kerusakan keturunan.

b) Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja seperti nikah tahlil, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri pada dasarnya berhukum mubah, namun karena dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya.

Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah; namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah Swt. Menjadi terlarang melakukannya.

c) Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru saja suaminya meninggal dunia dalam masa iddah. Berhiasnya Perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya meninggal dan masih dalam masa iddah keadaannya menjadi lain.

d) Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang

‘Urf— Menurut bahasa artinya adat kebiasaan. Adapun secara istilah syara’, Wahbah Zuhaili menyebutkan ‘urf ialah apa yang dijadikan sandaran oleh manusia dan mereka berpijak kepada ketentuan ‘urf tersebut, baik yang berhubungan dengan perbuatan yang mereka lakukan maupun terkait dengan ucapan yang dipakai secara khusus.

Syar’u man qablana— Mempunyai arti Menurut bahasa berasal dari kata syar’u syir’ah yang artinya sebuah aliran air sebuah agama hukum syari’at dan qablana artinya sebelum islam. Menurut istilah syar’u man qablana adalah syari’at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw., yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara Nabi Muhammad Saw., seperti ajaran agama Nabi Musa, Nabi Isa,

Mazhab shahabi— Arti menurut bahasa ialah pendapat sahabat Rasulullah Saw. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah.

Hukum Taklifi dan Hukum Wad'i

Dari sisi ini hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khllaf, terbagi kepada lima macam, yaitu wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.

Sedangkan hukum wadh'i adalah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagai sebab adanya yang lain atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh'i ada tujuh yaitu sebab, syarat, penghalang, 'azimah, rukhsah, sah dan batal.

Ijtihad

Pengertian ijtihad dari bentuk kata fi’il madhi jahada ( ََ جَهَد) yang bentuk masdarnya yaitu jahdun (ٌَجَهد) artinya adalah kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.

Wewenang untuk berijtihad yang diberikan Rasulullah Saw. kepada sahabat itu, ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi, pada masa Rasulullah Saw. ijtihad yang dilakukan para sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk mendapatkan pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah Saw. Jika ternyata hasil ijtihad mereka keliru.

Berikut ijtihad pada masa sahabat berlangsung setelah wafatnya Rasulullah Saw. dibawah ini akan dikemukakan beberapa contoh ijtihad pada masa sahabat:

v  . Ketika Nabi Muhammad Saw baru wafat, timbul masalah siapa yang akan menjadi pemimpin umat pengganti kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak memberi petunjuk apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pengganti kepemimpinan beliau. Maka terjadilah perbincangan diantar umat Islam dengan hasil terpilihnya sahabat Abu Bakar sebagai pemimpin yang disebut khalifah.

v  Pada waktu Nabi Muhammad Saw. masih hidup bahkan sampai wafatnya beliau al-Qur’an masih belum terkumpul. Nabi tidak memberi petunjuk dari wahyu yang berkenaan dengan pembukuan al-Qur’an

Kegiatan ijtihad pada masa tabi’in dianggap sebagai perantara antara ijtihad pada masa sahabat dengan ijtihad pada masa imam madzhab. Hal ini berarti pada masa tabi’in telah dirintis usaha ijtihad yang kemudian dikembangkan dengan sistematis pada masa-masa imam-imam mazhab.

Diantara mazhab Fikih dan imamnya yang terkenal adalah:

a. Mazhab Hanafiyah, imamnya Abu Hanifah (80-150 H)

b. Mazhab Malikiyah, imamnya Malik ibn Anas (93-179 H)

c. Mazhab Syafi’iyah, imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H)

d. Mazhab Hanabilah, imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)

Klasifikasi Bermadzhab

1. Taqlid mempunyai arti menurut bahasa mengikuti, meniru, membuat tiruan.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah :

Al-Ghazali memberikan definisi:

قَبُول ُقَول ٍبِالاَحُجَّة (Menerima ucapan tanpa hujjah).

Al-Asnawi dalam kitab Nihayatul al-Ushul mengemukakan definisi: َ

التَّقلِيد ُهُو َالأخذ ُبِقَول ِغَير ًدَلِيل (Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil).

ada tiga lapis umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum Islam atau syara’, yaitu:

·         Mujtahid, yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasilkan melalui ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil ijtihad lainnya.ini yang disebut mujtahid muthlaq.

·         Muqallid, yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu.

·         Muttabi’, yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengikuti metode dan petunjuk yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya. Mujtahid dalam peringkat mujtahid muntasib, mujtahid mazhab, mujtahid murajjih, dan mujtahid muwazin

2. Ittiba’ mempunyai arti bahasa mengikuti. Sedangkan menurut istilah definisinya :ََ

Ittiba’ ialah menerima (mengikuti) perkataan orang yang mengatakan sedangkan engkau mengetahui atas dasar apa ia berpendapat demikian.

3.Talfiq adalah Mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang yang berpendapat.