Karya fiksi menjadi hidup ketika sang penulis menyajikan cerita tersebut
dari kejadian yang pernah dialaminya dan dianalogikan ke dalam cerita secara
substansif. Sehingga kisah-kisah yang telah ditulisnya itu menjadi cermin dari
keadaan batin sang pengarang dan cermin kenyataan dari lingkungannya. Persis
seperti yang diungkapkan Ibrahim Nasrallah bahwa karya sastra adalah wujud
gambaran jiwa manusia yang paling transparan.
Dilihat dari beberapa karyanya, Ibrahim Nasrallah melakukan upaya
refleksi itu. Ia menyajikan kisah-kisah dalam novelnya dengan mengambil
substansi dari ingatan-ingatan di masa lalu. Kisah-kisahnya membawa kita jauh
ke dalam pengalaman individu maupun kolektif orang-orang Palestina dalam narasi
yang melintasi ruang dan waktu dengan sesuatu yang mengerikan dan terkadang
konyol.
Ibrahim Nasrallah terlahir sebagai anak dari orang tua yang terusir dari
Palestina saat peristiwa Nakba 1948.
Hidup dan tumbuh dalam lingkungan pengungsian orang-orang Palestina di
sebuah camp bernama Al-Wihdat yang terletak di
Amman, Yordania.
Di sanalah ia dibesarkan dan bekerja untuk membantu kebutuhan keluarga.
Menjalani masa pendidikan dasar di sekolah PBB untuk pengungsi Palestina, ia
melanjutkan studi akademisnya pada jenjang diploma melalui program teacher training college UNRWA (United Nation
Relief and Works Agency) di Amman, Yordania.
Refleksi tentang lingkungan dan kehidupan orang-orang di sekitarnya,
termasuk dari kisah keluarga serta orang-orang Palestina yang diusir dari tanah
air mereka sejak peristiwa Nakba 1948,
banyak digambarkan dalam proyek novel serial Asharfat di
antaranya: Shurfat al-Hadhayān (Balcony
Of Delirium, 2005), Shurfat Rajul Al-Thalaj (Balcony
of Snow Man, 2009), dan Shurfat Al-‘Ar (Balcony
Of Disgrace, 2010), Shurfat Al-Hāwiyah (Balcony of Abyss, 2014). Lanjutan dari serial ini
adalah Harb al-Kalb al-Tsaniyah (The Second War of the
Dog) yang telah mendapat penganugerahan pada ajang IPAF (Internasional Prize
For Arabic Fiction) tahun 2018 lalu.
Hampir seluruh cerita dalam serial Assarfat berlatar di Kota tanpa nama.
Masing-masing menceritakan tokoh yang berseberangan dengan struktur sosial dan
pemerintah. Cerita-cerita dalam karya fiksi yang ditulisnya tidak pernah luput
dari cerminan ingatan kolektif bangsa Palestina dan pengalaman hidupnya.
Setiap karya yang ia tulis merupakan refleksi tentang lingkungan dan
kehidupan orang-orang di sekitarnya, termasuk dari kisah keluarga dan
orang-orang Palestina yang diusir dari tanah air mereka sejak peristiwa Nakba 1948.
Kita bisa lihat dalam novel Mujarrad Ithnan Faqat,
1992 (Inside the night versi bahasa inggris) bagaimana
seorang narator sekaligus tokoh dalam novel tersebut menghadirkan kembali
ingatan tentang pengepungan camp pengungsian
berlatar di Tel al-Zaatar Beirut dan pembantaian penduduk sipil secara massal.
Pada bagian cerita selanjutnya ia menceritakan kenangan mengajar di
teluk. Kisah-kisah itu diambil dari pengalamannya sebagai pengajar di wilayah
Al-Qunfudhah, Arab Saudi selama dua tahun. Ia juga banyak menggambarkan
peristiwa selama mengajar di desa terpencil semenanjung Arab itu pada novel
pertamanya yang berjudul Barāri Al-Humma,1985
(Prairies of Fever), yang tercatat sebagai satu dari sepuluh novel penting
tentang dunia Arab versi The Guardian.
Dunia kepenulisan yang ditekuninya sejak usia 13 tahun ditambah
pengalamannya menjadi jurnalis, membawa Ibrahim Nasrallah menjadi sastrawan
Palestina yang terbilang produktif. Ia dikenal dengan penulis fiksi bergenre
distopia. Karya-karya yang telah diterbitkan meliputi kumpulan puisi, novel,
serial komedi Palestina, serial Assarfat, dan belakangan ini telah terbit tiga
novel Trilogy of Bell yang seluruhnya hampir
tentang sejarah modern Palestina sejak 250 tahun yang lalu.
Hingga saat ini, Ibrahim Nasrallah telah menerbitkan tujuh belas kumpulan
puisi, dua kumpulan puisi untuk anak-anak, dan sejumlah novel. Beberapa di
antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Denmark, dan
Turki, termasuk delapan volume tentang sejarah Palestina modern. Salah satu
volume dari novelnya yang berjudul Zaman al-Khuyul Al-Baydha (Time
of White Horses, 2007), terpilih pada Penghargaan Internasional untuk Fiksi
Arab pada tahun 2009.
Untuk proyek fiksi selanjutnya, Ibrahim Nasrallah baru saja
menerbitkan Thalathiyah Al-Ajras (Trilogy
of Bells) yang telah dipersiapkan sejak tahun 1990. Proyek fiksi tersebut
menggambarkan tentang tujuh puluh tahun kehidupan urban Palestina (tentang
manusia, budaya dan level nasional) sejak kedatangan Inggris di Palestina,
perang dunia pertama hingga tahun 1991.
Terutama tentang umat Kristen Palestina beserta peran budaya dan agenda
politik yang mereka jalankan. Ketiga novel tersebut memiliki keterkaitan
sekaligus menjadi bagian terpisah. Sehingga dapat dibaca secara mandiri atau
bersamaan untuk mendapatkan gambaran lengkapnya. Novel tersebut
diantaranya Dabbābat Tahta Syajarat ‘Id Al-Milād, Shirat
‘Ain, dan Dzilal Al-Mafātih, juga
dikategorikan ke dalam serial komedi Palestina.
Begitulah cara Ibrahim Nasrallah mengabadikan peristiwa demi peristiwa
yang terjadi terutama yang sangat dekat dengan dirinya. Terekam jelas wajah
Palestina dengan nasib orang-orang yang terasing di pengungsian, realitas
sosial hingga bayang-bayang politik yang menggerus bangsanya.
Dengan kata lain, jika kita ingin melihat fenomena tentang kehidupan
bangsa Palestina, kita bisa melihat wujud itu dalam kisah-kisah yang ia
tuliskan. Membaca karya-karya Ibrahim Nasrallah sama halnya kita membaca
Palestina itu sendiri.
0 Komentar